Masih Perlukah Adanya Masa Orientasi Siswa ?
Berbagai hal yang berkaitan dengan tahun ajaran baru dan penerimaan murid baru dari tingkat pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi selalu menarik untuk dibicarakan. Tidak mengherankan jika masalah-masalah seputar mahalnya biaya pendidikan, baik di sekolah negeri maupun swasta yang naik setiap tahun, rebutan siswa antar sekolah,
pungutan bagi siswa baru -seperti uang seragam dan uang bangunan- serta sarana dan prasarana sekolah yang rusak, selalu menarik perhatian berbagai lapisan masyarakat.Di samping masalah-masalah tersebut, ada masalah lain terkait penerimaan siswa baru yang akhir-akhir ini menjadi buah bibir masyarakat dan menjadi bahan berita di berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik, yaitu adanya praktek perploncoan pada masa penerimaan siwa baru di tingkat sekolah menengah pertama maupun sekolah menengah atas.
Masa orientasi siswa baru (MOS) ditengarai dijadikan praktek perploncoan oleh para siswa senior kepada adik-adik kelasnya. Selama MOS, siswa baru diharuskan melakukan hal-hal yang nganeh-nganehi (tidak semestinya), seperti mengepang rambut dengan tali rafia, memakai pakaian dari tas kresek, tas dari bahan karung, ataupun membawa barang-barang yang tidak lazim dan sulit dicari. Selain adanya praktek kekerasan simbolik tersebut, dalam masa perploncoan ini juga terjadi praktek-praktek kekerasan yang bersifat verbal dan bahkan kekerasan fisik.
Kekerasan yang bersifat verbal contohnya adalah bentakan, cemoohan, ejekan, intimidasi, dan umpatan dari senior. Siswa baru juga sering dimarahi di depan umum akibat tidak menuruti kemauan seniornya. Sedangkan bentuk-bentuk kekerasan fisik, misalnya hukuman push up, sit up, berdiri dengan satu kaki dan juga lari keliling lapangan.
Meskipun praktek perploncoan ini sudah mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak dan mendapat larangan dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), namun pada kenyataannya masih tetap berlangsung di berbagai sekolah. Depdiknas bahkan sudah memberikan instruksi agar MOS dilakukan dalam bentuk yang mudah, murah, menyenangkan, bersifat massal dan menjauhi praktek perploncoan, tetapi tampaknya peringatan tersebut tidak efektif untuk mencegah praktek perploncoan terhadap siswa baru, sehingga kegiatan yang sama sekali tidak bermanfaat bagi pengembangan potensi peserta didik tersebut tetap berlangsung.
MOS yang sebenarnya bertujuan baik untuk memberikan bekal pengetahuan dan pengalaman bagi siswa baru yang sedang mengalami pergantian sekolah telah diselewengkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
Ospek
Selain di tingkat SLTP dan SLTA, praktek perploncoan juga kerap terjadi di jenjang perguruan tinggi. Praktek perpeloncoan ini biasanya mengiringi kegiatan penerimaan mahasiswa baru (PMB). Ospek dimaksudkan untuk mengenalkan kehidupan kampus kepada para mahasiswa baru. Sistem pendidikan yang baru bagi mereka, seperti SKS, penghitungan indeks prestasi dan lainnya, biasanya diperkenalkan pada acara ini. Diharapkan para mahasiswa baru yang sedang mengalami masa transisi dari pendidikan menengah ke pendidikan tinggi tidak canggung dengan sistem yang sama sekali baru bagi mereka.
Menilik dari tujuan tersebut, sesungguhnya Ospek merupakan kegiatan yang bermanfaat. Namun kegitan yang sebenarnya bertujuan baik tersebut seringkali ditunggangi oleh kepentingan sesaat dari mahasiswa senior untuk melakukan tindak kekerasan kepada mahasiswa baru. Ospek dijadikan ajang balas dendam dan kesempatan untuk menunjukkan senioritas mereka. Seringkali mereka berpikiran, kalau dahulu saya mengalami, maka sekarang saatnya saya membalas. Pola pikir balas dendam ini masih tumbuh subur di sebagian mahasiswa senior. Hal ini tidak lepas dari perlakuan kekerasan yang pernah mereka alami.
Dampak
Kekerasan terhadap para mahasiswa baru itu akan menimbulkan dampak yang tidak baik. Sebuah studi yang dilakukan oleh psikolog Stephen Joseph mengungkapkan, gangguan dari seseorang yang lebih kuat, lebih tua (senior), lebih berani dan lebih lainnya, akan menurunkan martabat remaja, khususnya gangguan yang berbentuk kekerasan verbal, seperti memanggil dengan panggilan jelek, urnpatan, bentakan dan sebagainya. Dalam jangka panjang, akibat rendahnya kepercayaan diri, perasaan minder, dan turunnya martabat mereka, akan mempengaruhi motivasi belajar dan motivasi berprestasi, sehingga sulit mengembangkan potensi diri. Kekerasan yang mereka alami juga berpotensi menimbulkan trauma, kenangan buruk dan ketakutan hingga dewasa.
Kekerasan seolah sudah menjadi bagian dan tradisi yang melekat dalam dunia pendidikan kita. Kekerasan di berbagai jenjang pendidikan berpengaruh terhadap perilaku keseharian para peserta didik. Tidak mengherankan jika praktek-praktek tawuran antar siswa SLTP maupun SLTA, berita pembajakan bus kota oleh siswa sekolah, bukan hal asing lagi di telinga kita. Di tingkat perguruan tinggi pun, tindak kekerasan, seperti tawuran antar fakultas atau antar universitas, demontrasi yang diwarnai pembakaran ban, pemblokiran jalan, bahkan penyanderaan aparat keamanan bukan hal asing lagi. Tujuan pendidikan agar manusia lebih bisa memanusiakan dirinya tereduksi dengan hal-hal tersebut.
Kegiatan seperti MOS dan Ospek yang diwarnai praktek perploncoan memberi sumbangan signifikan bagi pelestarian tradisi kekerasan dalam dunia pendidikan kita. Ada beberapa hal yang menyebabkan praktek kekerasan dalam lingkungan pendidikan sulit diberantas. Pertama, sistem pengawasan yang kurang ketat dari pihak sekolah terhadap acara-acara yang berpeluang dijadikan ajang kekerasan.
Kedua, ketidakberanian dan ketidakberdayaan siswa baru untuk menolak atau melawan berbagai tindak kekerasan dari seniomya. Hal ini bisa jadi karena sebagai siswa baru masih takut dan mereka belum memiliki keberanian untuk melawan kemauan sniornya. Ketiga, adalah kurangnya pendidikan hurnaniora dalam pendidikan kita. Dengan sistern pendidikan seperti sekarang, potensi kognitif dan psikomotorik siswa memang lebih dipacu, akan tetapi sisi-sisi afektifnya menjadi diabaikan. Mereka tidak belajar bagaimana menghargai, menyayangi dan memahami sisi-sisi kemanusiaan orang lain. Mereka seringkali hanya diajarkan mendapat nilai sebaik mungkin dan lulus secepatnya sehingga aspek-aspek pendidikan kemanusiaan seringkali diabaikan. Sebuah pola pikir pragmatis yang tidak memberi celah untuk mengembangkan sisi afeksi siswa.